Komunitas Adalah Kawanan Kecil
Kawanan kecil adalah ekspresi dari nilai kekeluargaan. Prinsip yang berlaku adalah bahwa pemerintahan Tuhan berdaulat dalam kumpulan kecil. Pengaruh yang besar akan muncul dari kehidupan keluarga yang solid, dan ini hanya bisa efektif dalam kawanan / kumpulan kecil.
Pola hubungan yang muncul dalam sebuah keluarga adalah bahwa setiap anggota keluarga dapat mengekspresikan dirinya / tampil apa adanya tanpa memakai topeng-topeng teknik pergaulan.
Ketika kita mulai memasuki kehidupan berkomunitas, maka pada prinsipnya adalah temukan dengan siapa kita dapat berkomunitas, sebuah komunitas yang sehat akan mendorong setiap anggotanya bertumbuh dan dapat berhubungan satu sama lain tanpa hambatan-hambatan latar belakang, karakter, sosial ekonomi, dan hal lainnya, tetapi semuanya akan bergerak dalam satu irama kolaborasi yang saling memperkuat dan saling mengasah / menumbuhkan. Dimungkinkan adanya konflik, tetapi tetap dalam koridor keluarga.
The Church is not a company, the Church is a family. Gereja seharusnya menjadi suatu kehidupan di mana Tuhan nampak. Untuk mendapatkan pola / contoh yang bisa dilihat kita harus going to the first century Church (kembali kepada kehidupan gereja mula-mula) 1 Kor 12 : 14,18,24,25. Salah satu ciri khas dari the first century Church adalah bahwa orang asing akan mengalami keadaan seperti pulang ke “rumah” (going back to the home). Orang asing akan merasa menjadi anggota keluarga. Di situ akan terdapat hubungan yang bersifat mutual (saling). Dalam hal ini setiap anggota keluarga harus dapat menjadi inisiator dalam sebuah hubungan. Dan perasaan ini tidak bisa muncul karena sebuah senyuman / sapaan seremonial dalam acara-acara pertemuan yang sering kita lihat. Hal ini hanya bisa muncul dalam sebuah kehidupan berkomunitas yang menjadi cara hidup.
Di lingkaran mana sebuah komunitas / Gereja seharusnya berada? Sebuah komunitas harus menetap pada orbit karakter, artinya hubungan-hubungan di dalamnya harus menghasilkan sebuah ketajaman. Jika keluar dari lintasan ini, maka akan terjadi sebuah kekacauan. Ini adalah sebuah Life of Community, intinya adalah diproduksinya sebuah perubahan gaya hidup. Jika tidak ada perubahan, maka lambat laun sebuah komunitas akan keluar dari orbit karakter yang merupakan benih dari kekacauan (chaos).
Ada sebuah janji Tuhan bahwa kepada kawanan kecil akan diberitahukan rahasia Kerajaan Surga.
Participant style adalah sebuah pola yang efektif dalam sebuah komunitas, di mana setiap orang akan aktif dalam saling memberikan kontribusi. Setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk bisa memberikan kontribusi untuk pertumbuhannya dan pertumbuhan komunitas secara aktif. Jangan ada penonton yang pasif. Ini adalah sebuah gaya yang berlawanan dengan gaya one man show, yang akan mengakibatkan pola kepasifan berkembang. Sepertinya akan muncul pola produsen dan konsumen, dan pihak konsumen akan mengkonsumsi apapun secara pasif.
Pola aktif dan pasif ini akhirnya melahirkan sebuah era (terutama di negara-negara Eropa) yang disebut dengan Post Church Christianity (berlalunya era Gereja dan Kekeristenan). Kata Gereja dan Kristen sudah tidak diyakini lagi. Pertemuan-pertemuan begitu membosankan, kotbah-kotbah menjadi acara seremonial yang ditunggu-tunggu kapan selesainya, pendeta-pendeta menjadi nara sumber dari cerita-cerita yang meninabobokan. Mengapa ? Karena yang lain tidak aktif, muncul sindrom teater, penonton dan pemain. Jika pemain bagus, maka penonton bersorak, jika pemain tidak bagus maka penonton tidur atau menganalisa dengan “bijaksana”. Participant style akan menahan laju dari Post Church Christianity. Participant style harus dijalankan dalam sebuah kelompok kecil di mana Tuhan memerintah. Di dalamnya harus dibicarakan tentang Yesus, sebuah kehidupan yang seperti Yesus. Dan sebuah komunitas hanya bisa terbentuk ketika Tuhan memerintah di dalamnya.
Sumber : kotbah Ibu Onna Tahapari pada pertemuan Salt and Light 3-8-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar